Sabtu, 29 Januari 2011

Ramalan Tak Cuma Digemari Perempuan

Membaca ramalan kerap dikaitkan dengan hobi kaum perempuan. Coba saja lihat ketika mereka sedang membaca majalah, pasti rubrik ramalan bintang yang mereka buka lebih dulu.

Namun Ratih Ibrahim, psikolog dari lembaga Personal Growth, menolak bila perempuan dikatakan lebih membutuhkan atau menyukai dunia ramalan. Dalam opininya, semua orang pada dasarnya membutuhkan prediksi akan masa depan untuk menjamin keberlangsungan hidupnya. Prediksi yang logis dianggap bagian dunia ilmiah, sementara yang lebih mengutamakan emosi masuk ke dunia klenik.

Nah, hal-hal yang bersifat logis seringkali dihubungkan dengan sisi maskulin, yang tentu saja mewakili laki-laki. Sayangnya, yang bersifat emosional inilah yang dikaitkan dengan sisi feminin dan kaum hawa. Itulah yang menyebabkan perempuan dikatakan lebih menyukai dunia ramalan.


Sementara itu menurut Erna Karim, sosiolog Universitas Indonesia, selama ini memang kelihatannya perempuan lebih akrab dengan urusan ramalan tersebut. Padahal di daerah-daerah banyak juga laki-laki yang pergi menemui dukun, tapi tidak terlalu diekspos. Penyebabnya adalah banyaknya media yang lebih sering memuat ramalan yang membahas relasi horisontal (sejajar): hubungan dengan pasangan, jodoh, atau keluarga.

"Ramalan relasi horisontal lebih disukai perempuan karena ada peluang terjadinya gejolak. Ada ketidakpastian sehingga mereka memerlukan panduan. Lain halnya dengan relasi vertikal, misalnya antara bos dengan karyawan. Bila dipandang dari ilmu sosiologi, perempuan adalah tipe manusia yang patuh. Jadi relasi vertikal akan berjalan relatif lancar," ungkap Erna.

Sugesti memengaruhi
Menurut Ratih, ada suatu faktor yang turut menentukan terwujud atau tidaknya ramalan tersebut. Faktor ini disebut sugesti. Sugesti adalah suatu keyakinan dalam alam pikiran seorang manusia yang menggerakkan tindakan dan perilakunya. Besar atau kekuatannya berbeda-beda antara satu orang dengan orang lain. Semakin orang ini yakin, semakin besar kemungkinan ramalan itu terwujud.

Ia memberi contoh seseorang yang menurut ramalan akan mendapatkan rezeki bulan ini. Orang tersebut begitu senangnya dengan hasil ramalan itu sehingga menjalani hari-harinya dengan penuh semangat. Di rumah ia bersemangat, di kantor pun ia bersemangat. Akibatnya, pekerjaannya bisa ia selesaikan dengan baik, bahkan melebihi yang diharapkan atasannya. Di akhir bulan, sang atasan memberinya bonus sebagai imbalan kerjanya yang memuaskan.

"Benar kan, ia dapat rezeki? Tapi siapa yang menghasilkan? Ya dirinya sendiri. Sedemikian besarnya andil sugesti dalam diri kita. Hal yang sama juga bisa terjadi seandainya kita terlalu memikirkan hasil ramalan yang buruk. Saking stres dan khawatirnya, ia tidak bisa berkonsentrasi pada hidupnya. Ujung-ujungnya yang terjadi ya yang buruk," jelas Ratih.

Erna menambahkan, semua sebenarnya tergantung pemaknaan kita akan hasil ramalan itu. Orang-orang cenderung lebih memercayai ramalan yang baik ketimbang yang buruk karena mereka butuh motivasi dalam hidup.

"Orang butuh yang namanya hiburan, kekuatan, dan motivasi. Apalagi kalau keadaan serba tidak pasti. Banyak yang lari ke Tuhan, tapi ada juga yang lari ke ramalan," katanya.

Ia yakin, pandangan masyarakat Indonesia akan berubah soal ini jika sudah lebih ada kepastian dalam hidup. Sementara ini, ia menyarankan untuk berusaha yang terbaik sesuai akal budi dan kepercayaan masing-masing. Jadi, apapun pilihan Anda, Anda sendiri yang tahu mana yang terbaik.